Secara umum hadiah adalah sesuatu yang baik dan terpuji menurut Islam. Bahkan dapat meningkatkan hubungan erat antar sesama manusia. Namun akan menjadi persoalan manakala diberikan saat membayarkan hutang. Padahal dalam Islam akad hutang piutang adalah akad tabarru’. Yaitu akad sosial yang ditujukan bukan untuk mencari laba tetapi untuk menolong.
Dalam syariat Islam, hutang ada dalam 2 istilah yaitu Qardh dan ‘Ariyah. Secara definisi Qardh adalah akad hutang dalam bentuk harta yang dipinjamkan dan akan dikembalikan dalam bentuk yang semisal senilai. Sementara ‘Ariyah adalah meminjamkan barang berbentuk fisik dan dikembalikan dengan bentuk fisik yang sama.
Contoh dari Qardh adalah seorang yang meminjam harta 10.000 dalam bentuk uang 1 lembar kepada pemberi hutang. Kemudian dikembalikan sejumlah 10000 dalam bentuk uang 5000 2 lembar. Titik tekannya adalah nilainya yang sama, bukan fisiknya. Adapun ‘Ariyah adalah jika kita meminjam motor plat B 1234 BX maka yang dikembalikan adalah motor plat B 1234 BX.
Khusus untuk pinjaman berbentuk Qardh ada kaidah yang disepakati oleh para ulama’ yaitu
كل قرض جر نفعا فهو ربا
“Setiap pinjaman qardh yang memberi manfaat/tambahan maka disebut riba.”
Dari kaidah umum qardh diatas disebutkan bahwa tambahan atau manfaat yang diberikan orang yang berhutang (debitur) kepada pemberi hutang (kreditur) bisa disebut sebagai riba.
Apakah itu berlaku mutlak atau ada hal lain yang menjadikannya boleh ?
Hal yang Disepakati oleh Ulama’ Tentang Tambahan dalam Hutang Piutang
Yang disepakati oleh ulama’ tentang tambahan dalam hutang adalah jika tambahan atau hadiah itu disyaratkan oleh si pemberi hutang. Jika terjadi demikian, maka hukumnya haram dalam kesepakatan ulama‘.
Ulama’ sepakat ini adalah bentuk riba jahiliyah yang menyusahkan si peminjam uang. Sebab akad dasar dari hutang piutang adalah akad sosial dalam rangka membantu meringankan kesusahan. Maka jika ada syarat tambahan di awal, ini tentunya akan memberatkan sehingga syariat melarang.
Hal yang Diperdebatkan Oleh Ulama’ tentang Tambahan Hutang Piutang
Tetapi jika tidak disyaratkan di awal oleh pemberi hutang, maka wilayah inilah yang diperdebatkan ulama’. Meskipun si peminjam merasa ikhlas dan rela atas hal ini. Terkait ini ada 3 pandangan ulama’ dan masing-masing memiliki dalih tersendiri.
Baik kita bahas pendapat dan dalilnya satu persatu.
Pendapat yang Membolehkan Jika Tidak Disyaratkan di Awal
Ulama’ yang membolehkan tambahan atau hadiah dalam hutang piutang jika tidak disyaratkan di awal adalah Ibnu Umar, Hasan bin Ali dan Said bin Musayib. Begitu juga dengan madzhab Hanafi[1], sebagian Maliki[2], Syafii[3], Hambali[4] dan Dzahiri[5] membolehkan hal ini. Kebolehan dalam tambahan itu bisa bersifat kualitas atau kuantitasnya.
Meskipun tambahan itu lebih baik dari pinjamannya sendiri asalkan tidak disyaratkan itu tetap dibolehkan. Bahkan hukumnya adalah mandub atau sunnah jika tidak disyaratkan.
Dalil yang mereka gunakan adalah hadits shahih riwayat Muslim, dari sahabat Abu Rofi’ beliau mengatakan
أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ اسْتَسْلَفَ مِنْ رَجُلٍ بَكْرًا، فَقَدِمَتْ عَلَيْهِ إِبِلٌ مِنْ إِبِلِ الصَّدَقَةِ، فَأَمَرَ أَبَا رَافِعٍ أَنْ يَقْضِيَ الرَّجُلَ بَكْرَهُ، فَرَجَعَ إِلَيْهِ أَبُو رَافِعٍ، فَقَالَ: لَمْ أَجِدْ فِيهَا إِلَّا خِيَارًا رَبَاعِيًا، فَقَالَ: أَعْطِهِ إِيَّاهُ إِنَّ خِيَارَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً
Bahwa Rosulullah sallallahu’alaihi wasallam pernah meminjam seekor anak unta dari seseorang. Kemudian setelah itu datanglah unta pemberian yang dihadapkan kepada beliau. Maka Nabi menyuruh Abu Rofi’ untuk menyerahkan anak unta kepada pemberi hutang. Setelah beberapa saat, Abu Rafi’ datang lagi dan mengatakan, saya tidak mendapati kecuali unta berumur 6-7 tahun. Maka Sabda Nabi, berikanlah kepadanya, sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah yang terbaik saat mengembalikan. (HR Muslim)
Dalil lain adalah sebagaimana disebutkan oleh Dr Dieb al Bugha dalam syarah Arbain Nawawi tentang hadits ke 16.
Bahwa suatu ketika Zaid bin Sa’nah seorang non Muslim datang untuk menagih hutang kepada Nabi dengan nada kasar. Ia menagih hutang sebelum masanya jatuh tempo. Namun sikap Nabi lembut dan menanggapinya dengan sabar. Saat itu datanglah Umar bin Khattab yang mengetahui kejadian dan langsung memarahi Zaid. Namun diluar dugaan Nabi justru bersabda kepada Umar, “Lebih baik engkau menyuruhku melunasi hutang dan menyuruhnya untuk menagih dengan cara baik.” Bahkan beliau memberi uang yang melebihi hutang semula, sebagai bentuk hadiah tambahan karena Umar menghardiknya dengan kasar. Setelah kejadian itu Zaid bin Sa’nah kagum dengan akhlak Nabi dan masuk Islam.

Pendapat yang Membolehkan Tapi dengan Syarat
Sebagian ulama’ madzhab maliki menyebutkan bahwa boleh tetapi dengan syarat, kelebihannya adalah dari sisi kualitas bukan kuantitasnya.
Contoh hutang beras 5 kg kualitas A dengan harga 10.000/kg, namun dikembalikan beras 5kg dengan kualitas A+ meskipun harganya 15.000/kg. Maka hukumnya masih boleh sebab pinjamannya 5kg beras dibayar 5kg beras juga.
Imam al Qarafi al Maliki menyebutkan dalam Adz Dzakiroh,
ولا تمتنع الزيادة بعد الأجل في الصفة ، وتمتنع في العدد على المشهور للتهمة في السلف بزيادة
Dan tidak ada larangan tambahan setelah jatuh tempo pembayaran hutang dalam hal kualitas. Yang dilarang adalah jika tambahan dalam bentuk kuantitas dalam pendapat madzhab yang masyhur. Hal ini karena ada indikasi manfaat tambahan dalam hutang piutang.[6]
Dalilnya adalah seperti kelompok pertama, yaitu Nabi meminjam anak unta sebanyak 1 ekor dan dikembalikan unta dewasa sebanyak 1 ekor juga. Sama dalam kuantitas tetapi lebih baik dalam hal kualitas hewannya. Adapun menurut sebagian Malikiyah jika tambahan itu berupa kuantitas atau jumlahnya itu tidak diperbolehkan karena ditakutkan terdapat tambahan yang dilarang.
Pendapat yang Melarang Secara Mutlak
Pengembalian dengan tambahan meskipun tidak disyaratkan tetap haram menurut satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal. Sebab menurut beliau intinya adalah tambahannya itu bukan kerelaan atau dipersyaratkan tidaknya. Disebutkan dalam kitab al Hidayah karya Abu Khattab
فإن أهدى له هدية بعد الوفاء ، أو زاد زيادة من غير مواطأة فعلى روايتين إحداهما جواز ذلك والاخرى تحريمه
Jika si peminjam memberi hadiah setelah pelunasan atau memberi tambahan tanpa kesepakatan sebelumnya maka ada dua riwayat (dalam madzhab Hambali). Riwayat pertama membolehkan sementara riwayat lain melarang hal demikian.[7]
Dalih dari pendapat ini adalah tidak bolehnya mengembalikan berlebih kepada pemberi hutang. Hal ini karena yang wajib adalah mengembalikan sesuai yang dipinjam bukan memberi tambahan yang justru berakibat riba yang diharamkan.
Kesimpulan
Menurut hemat kami, yang rajih adalah pendapat pertama bahwa penambahan dalam hutang itu diperbolehkan dengan syarat tanpa ada perjanjian di awal. Pendapat ini juga merupakan pendapat mayoritas ulama’. Sebab hadits Nabi membolehkan hal itu berlaku mutlak selama tidak disyaratkan oleh pemberi hutang.