Jika keraguan muncul di benak seorang muslim, maka bagaimana Islam memberi solusi dalam hal ini ?
عن أبي محمد الحسن بن علي بن أبي طالب – سبط رسول الله ﷺ وريحانته – رضي الله عنهما قال: حفظتُ من رسول الله ﷺ: دع ما يريبك إلى ما لا يريبك
Dari Abu Muhammad Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, cucu kesayangan Rosulullah sallallahu ‘alaihi wasallam berkata, aku mendengar Rosulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tinggalkan hal yang meragukanmu dan gantilah pada hal yang tidak meragukanmu.” (HR Tirmidzi, Nasai. Hadits Hasan Shahih)
Ragu, Penghalang Sikap Wara’
Ibnu Hajar al haitsami menyebut bahwa hadits ini adalah poros dari ketaqwaan, karena anjuran sikap wara’.
هذا الحديث قاعدة عظيمة من قواعد الدين، وأصل في الورع الذي عليه مدار المتقين، ومنجٍ من ظلم الشكوك والأوهام المانعة من نور اليقين
Terkandung dalam hadits ini kaedah agung dari kaedah-kaedah agama. Terdapat pondasi sikap wara’ yang berputar darinya ketakwaan. Jalan keselamatan dari keraguan dan kesamaran yang menghalangi cahaya yakin.
Perawi Hadits 11 Arbain; Biografi Hasan bin Ali Bin Abi Thalib
عن أبي محمد الحسن بن علي بن أبي طالب – سبط رسول الله ﷺ وريحانته – رضي الله عنهما قال: حفظتُ من رسول الله ﷺ:
Dari Abu Muhammad Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, cucu kesayangan Rosulullah sallallahu ‘alaihi wasallam berkata, aku mendengar Rosulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Perawi dari hadits ini adalah Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Seorang sahabat mulia sekaligus cucu Rosulullah sallallahu ‘alaihi wasallam. Ia adalah penghulu dari pemuda penduduk surga sebagaimana telah dijanjikan Nabi.
Hasan adalah ahli bait Rosulullah yang paling mirip dengan kakeknya sallallahu ‘alaihi wasallam, hal ini dijelaskan oleh pelayan Nabi Anas bin Malik. “Tak ada seorangpun yang lebih mirip dengan Nabi dibandingkan Hasan bin Ali.”
Beliau adalah sahabat Nabi yang menjadi simbol perdamaian antara 2 kelompok sahabat Nabi yang berselisih tegang karena kepemimpinan. Dari Hasan inilah perang antar sahabat dapat diredam dan kembali terjadilah persatuan diantara kaum Muslimin.
Orang-orang yang membencinya ada 2 yaitu pendukungnya yang terlalu ekstrem terhadap ahli bait, memilih mengecam sikap Hasan. Begitu juga dengan khawarij yang tetap membenci apapun kebijakan cucu Nabi tersebut.
Tinggalkan yang Ragu, Hadirkan yang Yakin
دع ما يريبك إلى ما لا يريبك
Tinggalkan hal yang meragukanmu dan gantilah pada hal yang tidak meragukanmu
Ragu dalam hal ini juga bisa diartikan dengan sesuatu yang syubhat. Maka jalan dari hal ini adalah komitmen dan yakin pada tuntunan syariat. Buah dari menghadirkan yakin ini dapat menjadikan orang beriman wara’ terhadap dunia.
Bahkan bentuk menjaga diri dari keraguan ini bisa dilakukan ketika melihat yang halal tetapi disamarkan oleh yang syubhat. Maka jalan terbaik adalah menghindarinya, inilah wujud dari sifat wara’. Sebagaimana perkataan Abu Dzar al Ghifari
تمام التقوى ترك بعض الحلال خوفاً أن يكون حراماً
“Kesempurnaan taqwa itu dengan meninggalkan sebagian yang halal karena takut terjatuh pada hal yang haram.”
Ketika Para Salaf Bersikap Wara’. Memilih yang Terberat diantara 2 Hal
Bahkan meskipun berat harus memilih yang dirasa yakin, itu lebih baik daripada terjerembab pada hal yang diragukan. Fudhail bin Iyad mengatakan
يزعم الناس أن الورع شديد ، وما ورد عليّ أمران إلا أخذت بأشدهما ، فدع ما يريبك إلى ما لا يريبك
“Orang-orang mengira bahwa wara’ itu berat, padahal andaikan aku diberi 2 perkara maka aku akan pilih yang terberat diantara keduanya. Oleh karenanya tinggalkan hal yang meragukanmu dan kerjakan hal yang tidak meragukanmu.”
Sikap wara’ atau berhati-hati terhadap sebagian yang halal itu juga banyak dicontohkan para salaf. Sejatinya hukum fiqihnya bisa jadi halal, tetapi karena ada keraguan terhadap perkara itu jadilah memilih jalur wara’, inilah yang diutamakan. Adapun jika sebagian orang lebih memilih yang dianggap halal itu juga dibolehkan, dan tidak diperkenankan menghukumi mereka dengan keburukan.
Salah seorang salaf yang bernama Yazid bin Zura’I memutuskan tidak mengambil warisan dari ayahnya. Lantaran ayahnya tersebut adalah pegawai kerajaan, ia khawatir tercampur dalam harta itu hal yang haram.
Begitu juga yang dilakukan oleh Ibrahim bin Adham, seorang tabiut tabiin murid dari Sufyan ats Tsauri dan Fudhail bin Iyad. Ia lebih memilih tidak minum air zam-zam, dengan alasan timba dalam sumur untuk air zam-zam itu adalah milik penguasa. Ia khawatir tercampur dari hal yang haram dalamnya.
Hal yang Ragu Berbenturan dengan Yakin
Dalam kaedah ushul fiqh ada ungkapan, keyakinan itu tidak bisa dihilangkan oleh keraguan.
اليقين لا يزال بالشاك
“Keyakinan itu tidak bisa dihilangkan oleh keraguan.”
Maka jalan keluarnya hanya memilih yang melegakan yaitu meninggalkan keraguan. Contohnya adalah seorang yang sudah yakin berwudhu, namun saat akan shalat ia ragu apakah wudhunya itu batal atau tidak. Maka dalam hal ini ia dihukumi suci masih berwudhu.
Orang Wara’ adalah Orang yang Paling Menjaga diri dari Perkara Haram
Orang yang telah meninggalkan perkara syubhat hingga menjadikan wara’ sebagai sifatnya, maka sejatinya ia adalah orang yang paling menjaga dirinya. Menjaga perkara haram masuk dalam tubuhnya dan istiqomah dalam mencapai ketaatan.
Beda Wara’ dan Zuhud, Lebih Tinggi Mana?
Para ulama’ berbeda pendefinisian tatkala memaknai kata wara’ dan zuhud. Namun yang paling mencakup menurut Ibnul Qayyim adalah ucapan Ibnu Taimiyah rahimahullah,
الزُّهْدُ تَرْكُ مَالاَ يَنْفَعُ فِي الآخِرَةِ وَالوَرَعُ : تَرْكُ مَا تَخَافُ ضَرَرَهُ فِي الآخِرَةِ
Zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat untuk akhirat, sedangkan wara’ adalah meninggala sesuatu yang membahayakan akhiratmu.
Dalam definisi ini dapat disimpulkan juga, bahwa zuhud adalah satu tingkat diatas wara’. Orang yang zuhud pasti berbuat wara’ tetapi orang yang wara’ belum tentu mencapai derajat zuhud.
Orang zuhud pun juga tidak pasti harus miskin, sebab ada juga orang yang kaya tetapi memiliki sikap orang zuhud sebagaimana pernah ditanyakan kepada Imam Ahmad tentang orang yang memiliki 1000 dinar (setara 3 milyar rupiah hari ini), apakah bisa berbuat zuhud. Maka dijawab Imam Ahmad.
“Ia bisa menjadi zuhud, dengan syarat ia tidak berbangga kalau hartanya tambah dan tidak sedih manakalah hartanya berkurang.” (Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin)